Perang Uhud terus berkobar. Kaum kuffâr Quraisy seolah mendapatkan semangat baru. Kondisi ini jelas berbeda dengan kondisi kaum Muslimin, terutama setelah psywar yang dilancarkan kaum Quraisy. Mereka memunculkan berita bohong yaitu Rasûlullâh telah berhasil mereka bunuh, padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
Psywar ini semakin memperparah dan melucuti semangat sebagian kaum Muslimin, sehingga sebagian dari mereka melarikan diri, sementara yang lain terus bertempur sampai akhirnya wafat sebagai syahîd. Shahabat yang pertama kali melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam keadaan masih hidup adalah Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Tak terbilang kegembiraan yang dirasakan Ka’ab Radhiyallahu anhu melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan masih hidup.
Saking gembiranya, beliau Radhiyallahu anhu berteriak memberitahukan kondisi RasûlullâhShallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup. Beliau Radhiyallahu anhu tidak sadar kalau perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini akan sangat membahayakan RasûlullâhShallallahu ‘alaihi wa sallam karena secara tidak langsung dia memberitahukan posisi Rasûlullâh kepada orang-orang musyrik. Menyadari hal ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallammemberikan isyarat kepada Ka’ab Radhiyallahu anhu agar diam, supaya tidak diketahui pasukan Quraisy.[1]
Meski sudah berusaha agar tidak diketahui musuh, namun akhirnya musuh tahu juga posisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menumpahkan segala amarah dan kebenciaan mereka kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka semakin mendekati Rasulullah, kala itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sembilan shahabat (tujuh dari Anshâr dan dua dari muhâjirîn) yang ada disekitar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ أَوْ هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ
Barangsiapa yang mau menghalau mereka dari kita, maka dia akan mendapatkan surga atau menjadi temanku di surga ?
Mendengar ini, tujuh sahabat yang berasal dari Anshâr berusaha menghalau musuh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun mereka tidak berhasil. Satu persatu diantara mereka berguguran sebagai syahîd sampai akhirnya habis. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada dua shahabatnya yang masih tersisa :
مَا أَنْصَفْنَا أَصْحَابَنَا
Kita tidak berbuat adil kepada para shahabat kita[2]
Maksudnya, dua shahabat yang berasal dari muhâjirîn ini tidak adil karena tidak melibatkan diri ketika kaum Anshâr itu berjuang membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dua orang ini hanya membiarkan mereka berperang, sampai akhirnya mereka gugur semua.
KISAH-KISAH HEROIK
Tercatat dalam sejarah, beberapa kisah heroik dalam peristiwa perang Uhud, diantara kisah-kisah itu ada yang sudah dibawakan dalam edisi sebelumnya dan berikut ini adalah kisah-kisah lainnya :
Tercatat dalam sejarah, beberapa kisah heroik dalam peristiwa perang Uhud, diantara kisah-kisah itu ada yang sudah dibawakan dalam edisi sebelumnya dan berikut ini adalah kisah-kisah lainnya :
1. Kisah Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu anhu
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin terdesak, para shahabat yang menyadari bahaya yang sedang mengancam Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjuang habis-habisan demi menyelamatkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tercatat dalam sejarah dengan tinta emas, perjuangan yang dilakukan Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu anhu . Beliau Radhiyallahu anhu bertempur mempertaruhkan nyawa sampai telapak tangan yang beliau Radhiyallahu anhu pergunakan untuk membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa difungsikan lagi[3] . Thalhah inilah yang menyangga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya bisa naik ke bebatuan ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kepung oleh pasukan Quraisy. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Thalhah pasti masuk surge[4] . Dalam riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin terdesak, para shahabat yang menyadari bahaya yang sedang mengancam Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjuang habis-habisan demi menyelamatkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tercatat dalam sejarah dengan tinta emas, perjuangan yang dilakukan Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu anhu . Beliau Radhiyallahu anhu bertempur mempertaruhkan nyawa sampai telapak tangan yang beliau Radhiyallahu anhu pergunakan untuk membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa difungsikan lagi[3] . Thalhah inilah yang menyangga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya bisa naik ke bebatuan ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kepung oleh pasukan Quraisy. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Thalhah pasti masuk surge[4] . Dalam riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى شَهِيْدٍ يَمْشِي عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ الله
Barangsiapa yang ingin melihat syahîd (orang yang mati syahîd) yang masih berjalan di muka bumi maka hendaklah dia melihat Thalhah bin Ubaidillah.”[5]
2. Kisah Sa’d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu
Shahabat lain yang tidak tertinggal membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Sa’d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mensuplay anak panah untuknya sambil bersabda, “Wahai Sa’d, ibu dan bapakku sebagai tebusan buatmu, panahilah (orang-orang kafir itu-red) !” Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikhususkan kepadanya ini mengobarkan semangat tempur beliau sehingga terus bertempur tanpa mengenal lelah. Kemampuan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang ahli memanah dipergunakan untuk membela dan melindungi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Shahabat lain yang tidak tertinggal membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Sa’d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mensuplay anak panah untuknya sambil bersabda, “Wahai Sa’d, ibu dan bapakku sebagai tebusan buatmu, panahilah (orang-orang kafir itu-red) !” Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikhususkan kepadanya ini mengobarkan semangat tempur beliau sehingga terus bertempur tanpa mengenal lelah. Kemampuan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang ahli memanah dipergunakan untuk membela dan melindungi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
3. Kisah Abu Thalhah al-Anshâri Radhiyallahu anhu
Abu Thalhah al-Anshâri Radhiyallahu anhu termasuk diantara shahabat yang posisinya dekat dengan Rasûlullâh disaat genting itu. Shahabat mulia yang nama aslinya adalah Zaid bin Sahl ini Radhiyallahu anhu juga seorang pemanah yang handal. Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang lewat dengan membawa anah panah dengan wadahnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang itu untuk menyerahkannya ke Abu Thalhah. Beliau Radhiyallahu anhu terus berjuang demi menyelamatkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari bahaya. ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menantang bahaya karena ingin tahu keadaan musuh, Abu Thalhah Radhiyallahu anhu meminta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurungkan niat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan : “Demi bapak dan ibuku, janganlah engkau keluar untuk melihat musuh ! (jika engkau lakukan itu-red) engkau akan terkena panah musuh. Leherku (Jiwaku) sebagai tebusan jiwamu.”[6] Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Abu Thalhah Radhiyallahu anhu , “Susngguh suara Abu Thalhah di tengah pasukan itu lebih berat dari seratus pasukan bagi orang musyrik.”[7]
Abu Thalhah al-Anshâri Radhiyallahu anhu termasuk diantara shahabat yang posisinya dekat dengan Rasûlullâh disaat genting itu. Shahabat mulia yang nama aslinya adalah Zaid bin Sahl ini Radhiyallahu anhu juga seorang pemanah yang handal. Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang lewat dengan membawa anah panah dengan wadahnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang itu untuk menyerahkannya ke Abu Thalhah. Beliau Radhiyallahu anhu terus berjuang demi menyelamatkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari bahaya. ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menantang bahaya karena ingin tahu keadaan musuh, Abu Thalhah Radhiyallahu anhu meminta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurungkan niat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan : “Demi bapak dan ibuku, janganlah engkau keluar untuk melihat musuh ! (jika engkau lakukan itu-red) engkau akan terkena panah musuh. Leherku (Jiwaku) sebagai tebusan jiwamu.”[6] Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Abu Thalhah Radhiyallahu anhu , “Susngguh suara Abu Thalhah di tengah pasukan itu lebih berat dari seratus pasukan bagi orang musyrik.”[7]
Meskipun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibela dan dilindungi mati-matian oleh beberapa shahabat, namun tetap saja beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak luput dari serangan musuh. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menderita luka di wajah, bahkan menyebabkan gigi seri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam patah. Darah segar mengalir dari luka itu. Sambil mengusap darahnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana mungkin suatu kaum yang melukai wajah nabi mereka akan beruntung, sementara nabi mereka menyeru mereka kepada Islam.” Lalu Allâh Azza wa Jalla menurunkan firmanNya :
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka atau mengazdab mereka Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. [Ali Imrân/3:128]
4. Kisah Abdullah bin Jahsy
Sebelum peperangan berkecamuk, Abdullah bin Jahsy mengatakan, “Sesungguhnya aku bersumpah untuk bertemu dengan musuh. Jika aku bertemu mereka, aku berharap mereka agar membunuhku kemudian melubangi perutku serta memutilasiku. Jika aku bertemu denganMu (ya Allâh) dan Engkau bertanya kepadaku, “Dalam rangka apa ini ?’ Maka aku akan menjawab, ‘Dalam (ragka membela agama)Mu.’ Ketika dia bertemu dengan para musuh Allâh Azza wa Jalla di medan tempur, dia terus bertempur melawan musuh-musuh Allâh itu, sampai akhirnya di akhir peperangan para shahabat mendapatinya dalam kondisi yang diharapkannya.[8]
Sebelum peperangan berkecamuk, Abdullah bin Jahsy mengatakan, “Sesungguhnya aku bersumpah untuk bertemu dengan musuh. Jika aku bertemu mereka, aku berharap mereka agar membunuhku kemudian melubangi perutku serta memutilasiku. Jika aku bertemu denganMu (ya Allâh) dan Engkau bertanya kepadaku, “Dalam rangka apa ini ?’ Maka aku akan menjawab, ‘Dalam (ragka membela agama)Mu.’ Ketika dia bertemu dengan para musuh Allâh Azza wa Jalla di medan tempur, dia terus bertempur melawan musuh-musuh Allâh itu, sampai akhirnya di akhir peperangan para shahabat mendapatinya dalam kondisi yang diharapkannya.[8]
5. Amr bin al-Jamûh Radhiyallahu anhu
Amr bin al Jamûh Radhiyallahu anhu termasuk diantara para shahabat yang memiliki alasan yang dibenarkan syari’at untuk tidak ikut perang, karena beliau Radhiyallahu anhu pincang. Namun kondisi ini tidak mengurangi semangatnya untuk tetap iut berperang. Usaha anak-anaknya untuk menghalanginya pun tidak dipedulikannya. Akhirnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kerelaan anak-anak Amr bin al-Jamûh untuk membiarkannya ikut berjihad, kalau memang menginginkan mati syahîd. Amr Radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Bagaimana pendapatmu, jika aku meninggal hari ini, bisakah aku menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini ?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Kemudian Amr Radhiyallahu anhu mengatakan, “Demi Allâh yang telah mengutusmu dengan al-haq, insya Allâh, saya benar-benar akan menginjakkan kakiku ini di surga hari ini.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu terjun ke medan tempur sampai akhirnya keinginan beliau Radhiyallahu anhu tercapai.[9]
Amr bin al Jamûh Radhiyallahu anhu termasuk diantara para shahabat yang memiliki alasan yang dibenarkan syari’at untuk tidak ikut perang, karena beliau Radhiyallahu anhu pincang. Namun kondisi ini tidak mengurangi semangatnya untuk tetap iut berperang. Usaha anak-anaknya untuk menghalanginya pun tidak dipedulikannya. Akhirnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kerelaan anak-anak Amr bin al-Jamûh untuk membiarkannya ikut berjihad, kalau memang menginginkan mati syahîd. Amr Radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Bagaimana pendapatmu, jika aku meninggal hari ini, bisakah aku menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini ?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Kemudian Amr Radhiyallahu anhu mengatakan, “Demi Allâh yang telah mengutusmu dengan al-haq, insya Allâh, saya benar-benar akan menginjakkan kakiku ini di surga hari ini.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu terjun ke medan tempur sampai akhirnya keinginan beliau Radhiyallahu anhu tercapai.[9]
6. Tsâbit bin Waqsy dan al Yamân
Kedua shahabat ini termasuk yang sudah berusia udzur, sehingga mereka diidzinkan untuk tidak ikut perang dan tinggal bersama kaum wanita dan anak-anak di Madînah. Namun kerinduan mereka terhadap mati syahîd membuat mereka enggan tinggal di Madînah. Keduanya menyusul kaum Muslimin dan terjun di medan tempur. Akhirnya, Tsâbit bin Waqsy gugur sebagai syahîd di tangan musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla , sementara al Yamân ayahanda Hudzaifah Radhiyallahu anhu mati syahîd, dibunuh pasukan kaum Muslimin karena mereka mengira beliau Radhiyallahu anhu adalah musuh. Ketika perang telah usai, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak membayarkan diyat sebagai tebusan atas terbunuhnya al Yamân, namun putra beliau Radhiyallahu anhu Hudzaifah Radhiyallahu anhu enggan menerimanya dan menyedekahkannya untuk kepentiangan kaum Muslimin.[10]
Kedua shahabat ini termasuk yang sudah berusia udzur, sehingga mereka diidzinkan untuk tidak ikut perang dan tinggal bersama kaum wanita dan anak-anak di Madînah. Namun kerinduan mereka terhadap mati syahîd membuat mereka enggan tinggal di Madînah. Keduanya menyusul kaum Muslimin dan terjun di medan tempur. Akhirnya, Tsâbit bin Waqsy gugur sebagai syahîd di tangan musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla , sementara al Yamân ayahanda Hudzaifah Radhiyallahu anhu mati syahîd, dibunuh pasukan kaum Muslimin karena mereka mengira beliau Radhiyallahu anhu adalah musuh. Ketika perang telah usai, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak membayarkan diyat sebagai tebusan atas terbunuhnya al Yamân, namun putra beliau Radhiyallahu anhu Hudzaifah Radhiyallahu anhu enggan menerimanya dan menyedekahkannya untuk kepentiangan kaum Muslimin.[10]
7. Hanzhalah bin ‘Aamir
Beliau adalah pengantin baru. Malam ketika panggilan perang di komandangkan, beliau Radhiyallahu anhu sedang bersama istri. Beliau Radhiyallahu anhu bergegas memenuhi panggilan tersebut tanpa sempat mandi junub terlebih dahulu. Ketika perang berkecamuk, beliau Radhiyallahu anhu maju berperang sampai akhirnya meninggal. Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat jenazah beliau Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, teman kalian ini sedang dimandikan oleh para malaikat.” Oleh karena itu, beliau digelari gasîlul malaaikah (orang yang dimandikan oleh para malaikat) atau al gasîl (orang yang dimandikan)[11].
Beliau adalah pengantin baru. Malam ketika panggilan perang di komandangkan, beliau Radhiyallahu anhu sedang bersama istri. Beliau Radhiyallahu anhu bergegas memenuhi panggilan tersebut tanpa sempat mandi junub terlebih dahulu. Ketika perang berkecamuk, beliau Radhiyallahu anhu maju berperang sampai akhirnya meninggal. Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat jenazah beliau Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, teman kalian ini sedang dimandikan oleh para malaikat.” Oleh karena itu, beliau digelari gasîlul malaaikah (orang yang dimandikan oleh para malaikat) atau al gasîl (orang yang dimandikan)[11].
8. Amr bin Uqaisy Radhiyallahu anhu
Awalnya, beliau Radhiyallahu anhu termasuk orang yang sangat membenci Islam, sehingga meskipun semua kaumnya dari Bani Ashal sudah memeluk Islam, beliau Radhiyallahu anhu tetap dalam pendiriannya, tidak mau memeluk Islam. Ketika perang Uhud berkobar, dia mencari beberapa teman yang dikenalnya di tempat tinggal mereka, namun tidak dia tidak berhasil. karena para shahabat yang dicari semuanya ikut perang Uhud. Beliau Radhiyallahu anhu bergegas kembali ke rumah, mengenakan baju besinya lalu memacu kudanya ke arah bukit Uhud. Saat kaum Muslimin melihat kedatangannya, mereka serta merta menghalaunya, “Wahai Amr, menjauhlah dari kami!” Amr menjawab, “Aku telah beriman.” Beliau Radhiyallahu anhu terus maju ke medan tempur. Dalam pertempuran tersebut mengalami luka-luka. Ketika peperangan usai, para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkannya ke rumah keluarganya dalam keadaan tubuh penuh luka. Sa’d bin Mu’adz mendatanginya dan mengatakan kepada saudarinya :
Awalnya, beliau Radhiyallahu anhu termasuk orang yang sangat membenci Islam, sehingga meskipun semua kaumnya dari Bani Ashal sudah memeluk Islam, beliau Radhiyallahu anhu tetap dalam pendiriannya, tidak mau memeluk Islam. Ketika perang Uhud berkobar, dia mencari beberapa teman yang dikenalnya di tempat tinggal mereka, namun tidak dia tidak berhasil. karena para shahabat yang dicari semuanya ikut perang Uhud. Beliau Radhiyallahu anhu bergegas kembali ke rumah, mengenakan baju besinya lalu memacu kudanya ke arah bukit Uhud. Saat kaum Muslimin melihat kedatangannya, mereka serta merta menghalaunya, “Wahai Amr, menjauhlah dari kami!” Amr menjawab, “Aku telah beriman.” Beliau Radhiyallahu anhu terus maju ke medan tempur. Dalam pertempuran tersebut mengalami luka-luka. Ketika peperangan usai, para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkannya ke rumah keluarganya dalam keadaan tubuh penuh luka. Sa’d bin Mu’adz mendatanginya dan mengatakan kepada saudarinya :
سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ
Tolong tanyakan kepadanya, (apakah dia melakukan ini) demi membela kaumnya, marah karena mereka ataukah marah karena Allâh Azza wa Jalla ? Amr menjawab, “Marah karena Allâh dan RasulNya.”
Akhirnya karena luka yang teramat parah, beliau Radhiyallahu anhu meninggal dan masuk surga, padahal beliau Radhiyallahu anhu belum pernah menunaikan shalat meskipun sekali.[12]
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah diatas dan semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk beramal sehingga menjadi penghuni surga. amien
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Hâkim 3/201. Beliau rahimahullah menghukumi hadits ini shahih dan ini disepakati oleh adz-Dzahaby rahimahullah. al-Haitsami dalam kitab al-Majma’ (6/112) mengatakan, “Hadits ini juga diriwayatkan ole ath-Thabrâni dalam al-Ausath dan al-Kabîr. semua orang yang membawakan riwayat ini dalam kitab al-Ausath adalah orang-orang terpercaya; Dan diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d secara mursal dari az-Zuhri, 2/46, Abu Nu’aim dalam ad-Dalâil 2/482 dengan sanad yang bersambung dari Ibnu Ishaaq
[2]. HR Imam Muslim, no. 1789
[3]. HR Bukhâri, no. 3724
[4]. HR Ibnu Ishâq dengan sanad yang hasan – Ibnu Hisyâm 3/126
[5]. Syaikh al-Albâni dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Ashbahâni dengan sanad shahîh karena memiliki beberapa riwayat pendukung.”
[6]. HR Bukhâri, al Fathh, 15/235-236, no. 4057
[7]. HR Ahmad, al Fathur Rabbâni, 22/589 dengan sanad (jalur periwayatan) orang-orang yang terpercaya. Lihat juga al-Wâqidi, 1/243 yang maknanya, “Suara Abu Thalhah di tengah pasukan itu lebih baik daripada emapat puluh personil pasukan.”
[8]. HR al Hâkim 3/199 dari mursal Sa’îd bin al Musayyib. al Hâkim mengatakan, “Kalau bukan karena irsal ini, maka hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhâri dan Muslim.” Dzahabi mengatakan, “Hadits ini termasuk mursal yang shahih.”
[9]. Diriwayatkan oleh Ibnul Mubârak, Kitab al Jihâd, hlm. 69 dari mursal ‘Ikrimah dan diriwayatkanIbnu Ishâq dengan sanad yang terputus, Ibnu Hisyâm, 3/132. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan ringkas dalam Musnad beliau rahimahullah , 5/299 dari jalur periwayatan Ibnu Ishâq dan orang-orang yang membawakan riwayat ini adalah rijâlus shâhih (orang yang membawakan riwayat-riwayat shahih) kecuali Yahya bin Nash al-Anshâri. beliau in termasuk tsiqah (terpercaya) sebagaimana dalam al Majma’, 9/315. Jadi hadits ini shahih menurut jalur periwayatan Imam Ahmad
[10]. HR Ibnu Ishâq dengan sanad hasan, Ibnu Hisyâm, 3/128; al–Hâkim dalam al Mustadrak, 3/202 dan beliau rahimahullah menilai riwayat ini shahih dan ini disepakati oleh adz- Dzahabi, lihat, al Wâqidi, 1/232
[11]. HR Ibnu Ishâq ssecara mu’allaq- Ibnu Hisyâm, 3/107-108 dan al-Hâkim membawakan riwayat ini dengan sanad (jalur periwayatan) yang bersambung tanpa putus. Beliau rahimahullah menilai riwayat ini shahih dan ini disepakati oleh adz- Dzahabi. Syaikh al-Albâni menilai riwayat ini hasan sebagaimana dalam Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah, no. 326
[12]. HR Ibnu Ishaaq dengan sanad hasan, Ibnu Hisyaam (3/131). Lihat al Ishaabah, 2/519 dan diriwayatkan oleh Abu Dâwud, no. 2537; Juga diriwayatkan oleh al Hâkim dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini shahih dan penilaian beliau ini dibenarkan oleh adz-Dzahabi. Syaikh al-Albâni juga menilai hadits ini hasan, dalam shahih sunan Abi Dâud
_______
Footnote
[1]. Dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Hâkim 3/201. Beliau rahimahullah menghukumi hadits ini shahih dan ini disepakati oleh adz-Dzahaby rahimahullah. al-Haitsami dalam kitab al-Majma’ (6/112) mengatakan, “Hadits ini juga diriwayatkan ole ath-Thabrâni dalam al-Ausath dan al-Kabîr. semua orang yang membawakan riwayat ini dalam kitab al-Ausath adalah orang-orang terpercaya; Dan diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d secara mursal dari az-Zuhri, 2/46, Abu Nu’aim dalam ad-Dalâil 2/482 dengan sanad yang bersambung dari Ibnu Ishaaq
[2]. HR Imam Muslim, no. 1789
[3]. HR Bukhâri, no. 3724
[4]. HR Ibnu Ishâq dengan sanad yang hasan – Ibnu Hisyâm 3/126
[5]. Syaikh al-Albâni dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Ashbahâni dengan sanad shahîh karena memiliki beberapa riwayat pendukung.”
[6]. HR Bukhâri, al Fathh, 15/235-236, no. 4057
[7]. HR Ahmad, al Fathur Rabbâni, 22/589 dengan sanad (jalur periwayatan) orang-orang yang terpercaya. Lihat juga al-Wâqidi, 1/243 yang maknanya, “Suara Abu Thalhah di tengah pasukan itu lebih baik daripada emapat puluh personil pasukan.”
[8]. HR al Hâkim 3/199 dari mursal Sa’îd bin al Musayyib. al Hâkim mengatakan, “Kalau bukan karena irsal ini, maka hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhâri dan Muslim.” Dzahabi mengatakan, “Hadits ini termasuk mursal yang shahih.”
[9]. Diriwayatkan oleh Ibnul Mubârak, Kitab al Jihâd, hlm. 69 dari mursal ‘Ikrimah dan diriwayatkanIbnu Ishâq dengan sanad yang terputus, Ibnu Hisyâm, 3/132. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan ringkas dalam Musnad beliau rahimahullah , 5/299 dari jalur periwayatan Ibnu Ishâq dan orang-orang yang membawakan riwayat ini adalah rijâlus shâhih (orang yang membawakan riwayat-riwayat shahih) kecuali Yahya bin Nash al-Anshâri. beliau in termasuk tsiqah (terpercaya) sebagaimana dalam al Majma’, 9/315. Jadi hadits ini shahih menurut jalur periwayatan Imam Ahmad
[10]. HR Ibnu Ishâq dengan sanad hasan, Ibnu Hisyâm, 3/128; al–Hâkim dalam al Mustadrak, 3/202 dan beliau rahimahullah menilai riwayat ini shahih dan ini disepakati oleh adz- Dzahabi, lihat, al Wâqidi, 1/232
[11]. HR Ibnu Ishâq ssecara mu’allaq- Ibnu Hisyâm, 3/107-108 dan al-Hâkim membawakan riwayat ini dengan sanad (jalur periwayatan) yang bersambung tanpa putus. Beliau rahimahullah menilai riwayat ini shahih dan ini disepakati oleh adz- Dzahabi. Syaikh al-Albâni menilai riwayat ini hasan sebagaimana dalam Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah, no. 326
[12]. HR Ibnu Ishaaq dengan sanad hasan, Ibnu Hisyaam (3/131). Lihat al Ishaabah, 2/519 dan diriwayatkan oleh Abu Dâwud, no. 2537; Juga diriwayatkan oleh al Hâkim dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini shahih dan penilaian beliau ini dibenarkan oleh adz-Dzahabi. Syaikh al-Albâni juga menilai hadits ini hasan, dalam shahih sunan Abi Dâud
Sumber:http://oasemuslim.com/
0 Response to "Inilah Kisah-kisah heroik dalam perang Uhud"
Post a Comment